Seperti
pada umumnya pasangan muda yang sama-sama bekerja mengakibatkan urusan
pekerjaan rumah terpaksa dikerjakan oleh pihak lain dalam hal ini
pembantu rumah tangga.
Kita menempati sebuah rumah mungil
dengan dua kamar tidur, yang terdiri dari satu kamar agak besar untuk
kita di bagian depan, sementara yang satu lagi di bagian belakang dengan
ukuran sedang dicadangkan untuk anak kita kelak; kita berniat ingin mempunyai anak satu saja.
Karena kita belum mempunyai anak, maka kamar tersebut lebih sering
digunakan sebagai kamar tamu. Sementara itu kamar prt (pembantu rumah
tangga) ada di bagian belakang. Istriku adalah anak bungsu dari lima
bersaudara, sementara aku adalah anak nomor tiga dari enam bersaudara -
karena kita berdua dari keluarga besar, dengan alasan inilah kita ingin
mempunyai anak tunggal saja.
Pembantu rumah tanggaku telah
berganti beberapa kali, mungkin tetangga melihat kita berdua itu seperti
apa gitu, galak, jahat, atau sejenisnya. Kita berdua sepakat sebelum
mempekerjakan prt bahwa tidak akan mempekerjakan prt yang telah berumur.
Selain risih menyuruh orang tua, juga gimana sih kalau minta tolong
sama orang yang berumur, nggak tega. Walaupun dia prt, khan manusia
juga. Biasanya prt yang telah berumur memang tidak sekuat yang muda,
tetapi lebih telaten, dan biasanya masakannya lumayan enak.
Kemudian diusahakan jangan yang janda. Ini permintaan istriku sendiri.
Alasannya membuat aku ketawa, dia bilang kalau janda khan udah pernah
merasakan hubungan intim, terus kalau pas lagi “nafsu”, khan bisa repot.
Repotnya, dia bisa “main” sama tetangga, terus mainnya di rumah kita,
khan jadi kacau urusannya. Kalau prianya baik. Kalau nggak? bisa
terkuras habis deh, isi rumah. Apalagi bila sampai aku digoda juga,
katanya sambil memencet hidungku.
Pernah dapat pembantu dari
suatu yayasan. Ternyata belum ada satu minggu sudah nggak betah.
Akhirnya diganti oleh yayasan tanpa keluar biaya lagi. Nampaknya
kejadian itu berulang, hingga akhirnya kita putusin tidak pakai prt,
karena setiap ganti khan kita ngasih pengarahan pekerjaannya. Lha kalau
tiap minggu ganti khan sama aja dengan kita yang mengerjakannya.
Karena kesibukan kantor, nampaknya kita nggak sanggup melakukan
pekerjaan rumah lagi. Bayangin nyuci baju digabung dalam satu minggu
dikerjakan hari sabtu, khan lumayan tuh. Aku yang nyuci istriku kebagian
nyetrika pakaian seminggu. Dia yang masak apa adanya dan aku yang nyuci
piring. Dia yang nyapu aku yang ngepel. Pertama sih biasa lama kelamaan
nggak sanggup juga.
Kita dapet info ada tempat pengelolan prt
(bukan yayasan). Yah kita coba. Kita ambil satu orang, sampai rumah
sudah agak malam, eh, besok paginya udah hilang, ninggalin surat bahwa
dia disekap sama pengelola itu, dan ngambil uang belanja di dekat
kulkas, untuk pulang kampung katanya, sembari mengucapkan maaf dan
terima kasih. Istriku geleng-geleng.
Yah, balik lagi kerja
sendiri lagi. Ternyata lebih capek mengerjakan pekerjaan rumah yang
nggak pernah ada habisnya. Makanya aku salut sama para ibu rumah tangga
yang sehari-hari pekerjaannya ngurusin rumah yang kerja dari pagi hari
sebelum matahari terbit hingga jauh malam hari - yang masak untuk
keluarganya, yang dandan untuk suaminya (kalau pekerja khan dandannya
bukan untuk suami, terus kalau di rumah pakaiannya seadanya, tul
nggak?), yang memperhatikan semua anak-anaknya (hanya saat sekolah saja,
dia tidak melihat), yang menyambut bila suami pulang kerja dengan
cantiknya (khan cantik untuk suami), yang melayani kebutuhan suaminya
dengan sepenuh hati.
Akhirnya kitapun dapat rejeki. Sebelah
rumahku sedang memperbaiki rumah, saat istirahat siang selagi bicara
masalah bangunan salah satu tukangnya menawarkan keponakannya untuk
bekerja di rumahku; kalau sekedar merawat rumah dan bersih-bersih sih
bisa katanya, hanya tidak bisa masak. Karena pengalaman dikerjain prt,
aku coba menanyakan ke tetanggaku; si pemilik rumah, kenal nggak dengan
tukang yang menawarkan prt itu. Ternyata dia kenal, karena perusahaannya
mempekerjakan tukang itu (perusahaan tetanggaku bergerak di
arsitektur), dan sedang dipinjam untuk memperbaiki rumahnya.
Aku dan istriku setuju untuk mengambilnya, saat dia pulang kampung dia
mengajak keponakannya itu. Anaknya masih kecil, umurnya sekitar 16
tahun, hitam kelam, rambut ikal, kakinya nampak banyak bekas luka, agak
kurus, seperti nggak terawat.
Sebelum pulang pak tukang,
mengatakan bahwa dia menitipkan keponakannya untuk kerja di sini, mohon
untuk dididik perilakunya, terasa lebih kekeluargaan ketimbang bisnis di
yayasan tadi. Kalau dirasa nggak cocok, bisa hubungi di kantor
tetanggaku dan dia akan membawanya kembali ke kampung. Sambil pamit aku
memberikan uang pengganti transport yang dikeluarkannya.
Seperti biasa istriku memberikan contoh apa saja yang akan dikerjakan,
tentunya bertahap, tidak sekaligus, biar dia nggak bingung. Hasil
kerjanya cukup lumayan; rumah selalu bersih, pakaian tertata rapi.
Biasanya aku sama istriku suka berantem nyari pakaian yang satu di mana,
pasangannya di mana, kadang ada yang belum disetrika, kadang lupa belum
diangkat dari jemuran di lantai atas). Kondisi saat ini boleh dibilang
sudah lebih baik buat kita. Soal masak, karena prt-ku nggak bisa masak,
jadi kita catering aja. Istriku juga nggak bisa masak, jadi dia nggak
bisa ngajarin prt-ku (Istri yang sempurna khan harus 3M, macak/berias,
masak, dan manak/hamil. Di sini m1 bagus, m2nya nggak bisa, tinggal m3
tunggu tanggal mainnya).
Tidak terasa udah sebulan.
Mudah-mudahan dia betah lama tinggal di sini, soalnya nyari prt itu
gampang-gampang susah. Dari istriku, aku tahu bahwa dia meninggalkan
kampungnya karena bapaknya kawin lagi dan ikut dengan istrinya yang
baru, sementara ibunya (adiknya tukang bangunan tadi) yang belum sempat
dicerai pacaran dengan pria beristri. Runyamlah suasana rumahnya bila
kedatangan istri pacar ibu-nya. Selain malu dengan tetangga, juga
suasana rumah juga mendukung untuk meninggalkan kampung, sementara untuk
ke bapak, sepertinya lebih berat dengan istri barunya ketimbang sama
anaknya. Oleh sebab itu dia sangat senang dengan bekerja di tempatku.
Karena kerajinannya, istriku memberikan beberapa fasilitas padanya,
mulai peralatan mandi untuknya, termasuk pembalut wanita, juga
memberikan beberapa kosmetika bekas istriku yang masih bisa dipakai
(hampir habis; tadinya oleh istriku sudah mau dibuang justru dia yang
meminta), juga diberikan pakaian tidur. Semakin senang lah dia tinggal
di rumahku. Dia juga jarang bergaul dengan para prt tetanggaku; ini
merupakan keuntungan buatku, karena tidak tertutup kemungkinan
ngerumpinya para prt, bisa membuat prt-ku loncat ke tetanggaku yang lain
karena tergiur gaji yang lebih besar. Juga dengan lelaki, sepertinya
dia anti laki-laki banget, mungkin karena di kampungnya dia punya
masalah dengan beberapa laki-laki.
Lama kelamaan perubahan
mulai terjadi. Yang tadinya dia datang kurus, hitam, pokoknya seperti
orang nggak keurus, saat itu, sekarang udah agak berisi malah udah agak
bulet badannya - mungkin perbaikan gizi. Kulitnyapun sudah tidak sehitam
waktu baru datang, bisa jadi karena jarang keluar rumah, jadi nggak
kejemur (dulu di kampung dia sering ke sawah). Udah gitu pakai handbody
bekas istriku segala. Udah deh, asli berubah total. Pamannya aja sampai
nggak ngenali sewaktu datang berkunjung.
Apalagi kalau lagi
ngepel lantai (kita berdua, aku dan istriku nggak pernah ngepel dengan
tongkat, tetapi dengan cara merangkak, selain lebih bersih, juga
hitung-hitung olah raga - cara ini juga diterapkan ke prt), sepasang
bukit kembarnya berguncang; sejalan dengan semakin bulatnya bentuk
tubuhnya, payudaranyapun ikut berkembang, khan proporsional.
Pernah nih, dia pakai bra-nya, mungkin udah nggak muat kali, pentilnya
kelihatan dibalik kaos tipisnya. Wah istriku, langsung menegurnya.
“Kamu pakai bajunya yang sopan, dong Min,” kata istriku. Mimin nama prt-ku.
“Habis punyanya hanya ini bu.”
Karena bra-nya ukuran untuk cup “A”, sementara saat ini sudah mencapai
cup “C”, jadilah seksi banget gitu. Kita (aku dan istriku) tahu bahwa
dia tidak mengada-ada, soalnya anaknya memang lugu (bukan lu-lu,
gue-gue, lho), apa adanya.
Ditanya sama istriku kenapa kamu koq nggak belanja bra baru dengan gajimu.
“Sayang bu, rencananya uangnya nanti buat modal jualan di kampung aja, ya saya pakai apa adanya saja,” jawabnya polos.
Ternyata dia punya rencana. Bila sudah tidak diperlukan oleh kita lagi
dia ingin wiraswasta, katanya. Hebat juga pikirannya; kataku dalam hati.
Oleh sebab itu dia sayang banget dengan uang yang dia peroleh. Uangnya
ditabung di Bank Capek Antri, dekat rumahku. Karena pekerjaannya bagus
dan rajin, istriku menghadiahkan beberapa bra dan pakaian baru yang dia
beli di pasar. Seneng banget dia menerimanya.
Pernah suatu
siang hari aku menemukan dia sedang tertidur di ruang tamu sambil nonton
televisi, atau lebih tepatnya televisi nonton dia tidur. Memang
suasananya mendukung banget, siang hari, capek habis mencuci dan
menyetrika, habis makan siang, hujan turun deras, sambil nonton
telenovela, yah udah telap - tidur lelap.
Dia nggak tahu kalau
aku datang. Aku dan istriku masing-masing pegang kunci rumah dan kamar
tidur, sementara istriku masih di kantor, aku pulang untuk mengambil
berkas yang tertinggal.
Tampak dia tidurnya pules banget. Hujan
cukup lebat, hingga suara jatuhnya air cukup keras. Kuperhatikan roknya
sudah tersingkap sehingga tampak celana dalam yang kebesaran/longgar.
Kaki kirinya lurus sedangkan kaki kanannya ditekuk dan agak melebar.
Kuperhatikan itu khan celana dalam istriku yang lama dan udah nggak
dipakai lagi, karena sudah berlubang di bagian depannya; berlubang bukan
karena tajamnya rudalku, tetapi istriku pernah mens, terus tembus; atau
mungkin karena perekatnya yang terlalu kuat, lama kelamaan bahannya
menipis, nah aku nyucinya terlalu kuat hingga berlubang, dan nggak
dipakai lagi oleh istriku. Aku nggak tahu disimpan di mana dan akhirnya
ditemukan oleh prt-ku dan saat ini sedang dipakai.
Dengan
celana dalam longgar dan berlubang itu nampak belahan vaginanya yang
bulat dan tak terlihat labia minor-nya, karena usianya yang masih belia,
tampak beberapa bulu kemaluan yang halus dan hanya beberapa lembar
saja.
Pandanganku bergerak ke atas. Tampak bajunya tersingkap
ke atas juga. Bra-nya terangkat ke atas sehingga cupnya tidak menutupi
payudaranya. Koq bra yang baru nggak dipakai? Itu khan bra yang lama;
mungkin tadi suasana sebelum hujan lumayan panas hingga tanpa sengaja,
tergerak untuk mengangkatnya. Payudaranya lumayan juga, nggak putih
cuman mulus dan area sekitar puting coklat muda, dengan puting coklat
muda sekali; mungkin lagi mekar-mekarnya, tampak beberapa bagian
berwarna pink. Jakun ku bergerak naik turun.
Beberapa saat aku
ingat, beberapa hari lalu saat kedua mertuaku datang, istriku sedang
melakukan percakapan dengan ibu mertuaku yang tak sengaja ku dengar.
“Kamu hati-hati sama babumu itu,” kata ibu mertuaku yang mempunyai
darah biru, nama depannya masih menggunakan RA, dan bapak mertua RM,
sementara istriku Rr. Dia memang agak nggak begitu senang dengan prt-ku,
nggak tahu kenapa. Makanya kalau ngomong suka kasar banget sama prt-ku.
“Iya bu, tetapi namanya laki-laki bu, bisa aja di rumah kalem penuh
perhatian, kita nggak tahu kalau di luar. Ibaratnya kalau sudah semeter
keluar rumah khan bujangan lagi” kata istriku, aku tersenyum
mendengarkannya.
“Betul itu, tetapi tetap kamu jaga, jangan sampai pagar makan tanaman,” kata ibu mertuaku.
“Yah, kita sudah komit, saling percaya. Yah terserah dia kalau mau
menyalah gunakan kepercayaan yang aku berikan,” jawabnya diplomatis.
Akal sehatku ternyata masih berfungsi. Pilih mana, “perang dunia ke
tiga” atau “kenikmatan sejenak”. Untung sering melakukan “pengeluaran”
di luar, sehingga dapat menahan laju nafsu birahiku dan berpikir jauh.
Segera aku ambil yang kuperlukan dan kembali ke kantor. Sorenya pulang
dan seperti biasa lagi. Tapi memang dasar otak kotor, tiap melihat dia,
bayanganku selalu aja ke kejadian tadi siang, sepertinya dia berjalan
telanjang!!!
Keesokan harinya, aku bangun dan terasa seger
sekali pagi hari itu, saat aku akan terlentang (aku biasa tidur
telungkup), koq ada yang licin di kemaluanku. Belum sempet aku buka
celanaku, tampak di bedcover ada sesuatu yang basah, piyamaku juga
basah. Selagi bingung memperhatikan yang basah-basah tadi, tiba-tiba
istriku sudah ada di sisi tempat tidur dan geleng-geleng kepala, sambil
njewer kupingku.
“Ngimpi sama siapa, he?” tanyanya.
“Eh eh, enggak jelas ma, wajahnya,” jawabku.
“Aku nggak tanya wajahnya, SIAPA ORANGNYA?” tanyanya lagi, sambil menjewerku lebih keras lagi.
“Iya, ampun, ampun, sama mama, baru aku ingat, sama mama,” kataku
berbohong. Aku baru ingat kalau aku ngimpi sama prt-ku; GILA. Tapi asli,
susah banget merawaninnya, tapi dalam mimpi, sampai-sampai karena
susahnya belum masuk udah keluar duluan - peltu gitu, yaitu yang
sekarang lagi basah semua ini - jangan-jangan gara-gara lihat kemarin
siang nih.
Memang sih udah lama aku nggak melakukan hubungan
“timsuis” (hubungan intim suami istri). Akhirnya pagi itu juga aku
dilayanin oleh istriku. Ternyata enak juga yah, breakfast dalam bentuk
“timsuis”. Rasanya seperti robot miliknya keponakanku yang baru diisi
battery baru - Full Power. Setelah selesai kita mandi dan kumasukan
semua pakaian kotor ke dalam ember pakaian kotor dan ke kantor
bersama-sama.
Akibat kejadian itu, istriku membuat kalender
“timsuis”, yakni setiap Kamis malam, dan Minggu malam. Kecuali ada yang
mendesak maka dengan kesepakatan bersama dilakukan di luar perjanjian,
karena akan pergi melakukan perjalanan dinas atau sebaliknya. Jadwal
tersebut tidak mengikat bila salah satunya kurang sehat atau datang
bulan, maka bisa dibatalkan.
Beberapa minggu, tidak ada
kejadian yang menarik, hanya kedatangan kedua orangtuaku dan kedua
mertuaku, hingga suatu hari istriku menemukan pembantuku sakit dan
membawa ke praktek dokter terdekat. Pulang dari sana, masuk ke rumah,
aku dipanggil istriku dan diajak ke dalam kamar tidur.
“Pa, Mimin hamil,” katanya sambil menatap tajam bola mataku, penuh selidik.
“Lho koq bisa?” tanyaku.
“Ya bisa, dia khan udah mens, masalahnya di rumah ini laki-lakinya hanya kamu,” katanya lagi.
Aku berpikir sejenak, masak sih, pakaian kotorku waktu itu, setelah
mimpi basah, kemudian dicuci olehnya menyebabkan hamil. Ah nggak mungkin
lagi, khan udah mati benihnya terkena udara bebas.
“Ngaku aja pa,” kata istriku, mengagetkan lamunanku.
“Ngaku gimana, aku nggak ngapa-ngapain koq,” kataku sambil tersenyum
geli. Gimana nggak geli ngelihat bola matanya memandangku melotot seakan
mau keluar, terlihat juga kilatan cemburunya, mungkin sudah tingkat
emosi.
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak akan menamparku.
Segera aku tangkap, dan kupeluk tubuhnya. Dia meronta-ronta. Aku
jatuhkan dia ke atas tempat tidur. Aku kunci tubuhnya.
“Aku
jijik sama kamu, pa, jijik. Jangan sentuh aku,” katanya mencoba
melepaskan diri. Aku longgarkan kuncianku. Segera dia melepaskan dan
pergi ke kamar mandi. Aku tahu, dia bukan ingin buang hajat, tetapi
melepaskan kesedihannya di sana, menyembunyikan diri, dan menguras air
matanya, dan esoknya tampak kelopak mata akan terlihat cekung -kebiasaan
dia dari gadis- aku tahu itu.
Aku bingung juga, nggak makan
nangka dapet getahnya. Segera aku temuin Mimin. Aku cari dia. Ternyata
ada di dalam kamarnya. Kupanggil agar segera ke ruang tamu, kalau aku
mengintrogasinya di kamarnya, semakin berat tuduhanku.
Setelah ke ruang tamu,
“Min, kamu melakukannya sama siapa?” tanyaku. Aku lirik istriku sudah
keluar dari kamar mandi, dan berjalan ke ruang tamu dan ikut bergabung
dengan kita.
Bukannya menjawab, malah semakin deras air
matanya. Repotnya urusan sama wanita nih gini ini, kalau udah terdesak,
keluar deh air matanya. Diajak dialog seperti apa juga jawabnya sama,
diam dan menangis.
Ya sudah. Aku tinggalkan mereka berdua. Aku
segera pergi ke kantor sendiri. Pulang kantor suasana rumah nggak
kondusif, nggak rame, nggak ada canda. Makan sih bersama, nonton tv
juga, tapi semua diam, mana malam itu jadwal “timsuis” lagi, apes.
Tersiksa, jadi terdakwa, kalau dilihat dari alat bukti sih udah jelas
dia hamil, dan penyebabnya pasti seorang laki-laki, dan di rumah ini
hanya aku laki-lakinya. Kalau orang luar kemungkinan kecil mengingat dia
jarang keluar. Ya tapi aku khan nggak berbuat, ah pusing.
Aku
mau tidur aja deh, mau masuk ke kamar tidur, udah dikunci duluan, apes
lagi deh. Terpaksa tidur di sofa di depan televisi dan masih menggunakan
pakaian kerja.
Keesokan harinya, di sore hari aku lihat ada
kakak-kakak iparku datang. Wah nggak enak juga nih, urusan dalam negri
melibatkan pihak asing. Tetapi demi kebenaran, nggak apa-apa deh, yang
jelas para orang tua nggak diundang. Nggak enak khan udah tua masih aja
ngurusin anaknya. Udah gitu urusan ginian lagi, apalagi bila ibu
mertuaku tahu, habis deh aku disemprot.
Akhirnya kita
berdialog. Dialog sesama lelaki itu lebih nyaman walau kadang ada yang
terbawa emosi. Ada yang mutuskan aku cerai dengan istriku dan aku
disuruh tanggung jawab. Ada yang usul lihat aja kalau udah lahir, test
dna-nya, pokoknya debat seru, bukan debat kusir.
Pada intinya
aku bilang bahwa aku masih mencintai istriku, dan aku nggak “berbuat”
dengan prt-ku. Aku kemukakan juga pendapat kalau aku mau selingkuh buat
apa sama prt-ku. Memangnya di luar nggak ada yang “lebih baik”,
memangnya aku nggak punya “modal” untuk berbuat; istriku malah melotot
menatapku; biarin habis kesel banget dituduh terus-terusan.
Akhirnya diputuskan, demi kemanusiaan biarin deh prt-ku tetap kerja, dan
biaya persalinan ditanggung olehku. Khan sebagai terdakwa. Dan nanti
akan ditest dna-nya. Sementara itu tidak ada percerian, tetapi tetap
perang dingin. Jadi kita menunggu proses persalinan saja.
Hari
demi hari berlalu, dan hari ini, aku gajian. Seperti biasa kalau gajian
aku serahkan semua buat istri, tetapi karena lagi perang dingin, aku
nggak serahin. Karena ada suara telpon, aku pergi untuk mengangkat
telpon di ruang keluarga dan amplop gaji aku letakkan di meja rias di
kamar tidur. Sekembalinya dari telpon, eh tuh amplop udah ilang. Kucari
istriku sudah masuk ke kamar mandi.
Segera aku periksa map
keuangan rumah tangga. Istriku selalu memasukkan uang gajian kita berdua
ke dalam amplop yang sudah disediakan untuk pos-pos pengeluaran; mulai
dari cicilan, biaya telekomunikasi, biaya kesehatan, biaya dapur, jajan,
tabungan, asuransi, ngasih ortu hingga biaya tak terduga. Kita memang
sepakat untuk disiplin anggaran, lebih boleh ke dugem, kalau nggak ya di
rumah aja. Anggaran dibuat untuk satu tahun, dan disepakati bersama.
Setelah istriku selesai mandi giliran aku mandi. Uh udah lama nggak
“timsuis” ngeliat istri habis mandi keluar dari kamar mandi hanya
ditutupi selembar handuk aja udah langsung protes nih “adik”ku. Aku
segera masuk dan mandi, sambil mandi aku mikir, waktu aku letakkan
amplop gaji dengan masuknya uang ke amplop-amplop pengeluaran, koq cepet
bener yah. Dasar perempuan, perang dingin sih perang dingin, urusan
uang mah tetap, disikat juga.
Kalau aku pikir-pikir, aku ini
bayarnya bulanan, bukan jam-jaman, tetapi sekarang bayar mah tetep,
makenya nggak, dasar apes. Yah udahlah besok aja dimasturbasi. Tetapi
memang kalau lagi untung nggak kemana-mana. Paginya aku wetdream lagi.
Sebentar, aku replay dulu sama siapa yah? Hah, sama bosku. Gila,
diprogram aja nggak lho. Oh, mungkin saat aku meeting anggaran, dia
menerangkannya aku nggak konsen dan mikir ke yang lain, maklum udah lama
aku nggak “timsuis”. Karena lagi perang dingin, jadi nggak dijewer
lagi, dia hanya melirik terus buang muka; dalam hatiku salah sendiri
kenapa nggak dikasih, khan jadi gini akhirnya.
Malamnya aku
nonton tv, biasa bertiga, tetapi yang bersuara hanya televisinya aja,
sementara tiga manusia matanya menatap televisi tetapi nggak tahu ke
mana arah pikirannya[a1].
Tak berapa lama istriku nggak kuat
ngantuk. Dia pergi tidur dan mengunci kamar tidur. Tinggallah kita
berdua. Aku coba untuk bicara dengan prt-ku, aku kecilkan suara tvnya.
“Mimin, kalau kamu nggak mengatakan siapa laki-laki itu, toh lama
kelamaan akan ketahuan. Nanti kalau bayimu lahir akan ditest darahnya,
dan itu bisa ketahuan siapa bapaknya!” kataku. Dianya hanya menunduk
diam.
“Min, coba lihat suasana rumah sudah nggak enak khan, aku
didiemin sama ibu, ibu menuduh bapak, karena hanya aku sendiri yang
laki-laki di sini!” kataku. Dianya diam aja.
“Tolong bantuin aku dengan mengatakannya siapa lelaki itu, Min,” kataku lagi. Dianya diam lagi.
“Kamu melakukannya sama tukang kebun sebelah atau sopir di depan?”
tanyaku. Dianya diam aja. Capek ngomong sama patung, ya aku diam aja,
nanti kalau ditekan malah semakin nangis.
“Saya takut pak untuk mengatakannya,” tiba-tiba dia mengeluarkan suaranya, tetapi tetap menunduk.
“Takut sama siapa?” tanyaku, berhasil juga rayuanku.
“Takut sama ibu,” jawabnya, masih menunduk.
“Nah sekarang ibu khan udah tidur?” rayuku.
“Sama mbah kakung,” jawabnya dengan tertunduk. HAAAHH.
“Mbah kakungnya bapak apa ibu?” tanyaku.
“Mbah kakungnya ibu!” jawabnya sambil melihatku dan menunduk lagi.
“Kamu yakin?” tanyaku.
“Yakin pak,” jawabnya sembari mengangguk. Ah lega lah, mungkin beberapa
saat lagi aku akan bebas dan dapat menikmati tubuh istriku, senangnya,
tetapi gimana mbuktiinnya yah?
“Bisa nggak kamu jelasin kejadiaannya?” tanyaku. Dia diam aja, mungkin malu, atau pahit mengenang kejadian itu.
“Kalau kamu keberatan yah sudah nggak apa-apa, tetapi akan sulit untuk
membuat orang lain percaya padamu. Saat ini boleh dibilang kita ini
senasib, Min. Kamu merasakan kepahitan hidup dengan hamil tanpa suami,
sementara aku dituduh berbuat sama kamu dan aku jadi terdakwa,” kataku
lemah.
“Waktu itu Mimin sedang membersihkan lantai,” jawabnya tiba-tiba. Aku diam, menunggu penjelasannya lebih lanjut.
“Mbah kakung sedang nonton televisi, mbah putri sedang tidur di ruang
tidur tamu (BO70: dia sedang terapi, saat dia meminum obatnya maka dia
akan tertidur pulas; ada petir juga nggak bakalan bangun; karena kata
dokter dia harus banyak istirahat). Saat saya membersihkan lantai, dia
merhatiin saya terus pak. Selesai membersihkan lantai, Mimin mandi.
Setelah mandi, Mimin masuk ke kamar. Belum sempat pintu kamar tidur
Mimin tertutup rapat, tiba-tiba mbah kakung masuk, dan Mimin “ditindih”
di kamar Mimin,” jelasnya tertunduk sambil menangis, ingat kejadian itu.
“Kamu kenapa nggak ngelawan atau teriak?” kataku.
“Udah pak, waktu itu hujan lagi lebat, lagian mbah putri kalau tidur
khan pules bener,” katanya tertunduk, sambil menghapus air matanya
dengan ujung bajunya.
“Berapa kali sama mbak kakung?” tanyaku.
“Yah cuman sekali itu,” jawabnya malu-malu.
“Sakit nggak?” tanyaku. GOBLOK, ngapain aku nanya yang kayak gitu, khan malu kalau wanita ditanya soal gituan.
“Nggak,” jawabnya singkat sambil melihatku, tampak sudah kering air matanya. Kaget juga aku kalau dia mau menjawab.
“Cuman merasa jijik aja sama kumis nya yang kasar, sama cairan yang
menempel di sini,” katanya lagi sambil mennunjukkan kemaluannya.
“Kamu sudah pernah melakukan seperti itu sebelumnya?” kataku. “Belum pernah?” tanyaku untuk memancingnya.
“Bener, apa nggak punya keinginan?” jawabnya.
“Nggak pak, Mimin lihat keluarga Mimin berantakan seperti itu, makanya
Mimin nggak mau kawin dulu, trauma. Makanya saya senang kerja di sini,
biar nggak lihat suasana rumah di kampung. Kalau uangnya kumpul dan
Mimin sudah nggak dibutuhkan Mimin mau dagang di kampung, dan kontrak
rumah sendiri,” Katanga.
Aku berpikir, dia disetubuhi hanya sekali, nggak merasa sakit, ehh.
“Min, waktu kejadian itu kamu telanjang nggak? Maaf Min aku nanya ini
maksudnya sebagai bahan untuk membela kamu, jadi kamu jangan salah
paham,” kataku.
Tidak segera dijawab, dia melihat aku dulu, kemudian.
“Waktu itu khan habis mandi pak, mana sempat pakai baju!” jawabnya. Oh
iya yah, Goblok kwadrat deh aku, maklum bentar lagi bebas jadi terdakwa,
jadi processor mmxku, ada sedikit illegal operation.
“Mbah
kakung…,” kataku terputus, gimana yah aku njelasin, ah udah lah cuek,
“memasukkan kemaluannya ke ‘punyamu’ nggak?” tanyaku.
“Ya, dia
berusaha pak, cuman karena saya meronta, nggak keburu masuk, tapi nggak
lama saya merasakan ada cairan hangat yang membasahi punya saya pak. Ih
jijik,” jawabnya. Kalimat terakhirnya hampir tak terdengar, euh, mulai
lupa deh sama sedihnya.
Duh, jawabannya polos banget, ndengerin
dia cerita, aku merasa geli ya ngaceng. Tapi dengan demikian aku dapat
gambaran yang cukup jelas.
Keesokan harinya, aku mencoba
menghubungi kakak-kakak iparku, dan melakukan rapat keluarga lagi
setelah pulang kerja. Pertama mereka meragukan informasi yang aku
berikan. Akhirnya setelah melakukan pemeriksaan ke dokter terdekat
–sebelumnya Mimin menolak diperiksa selaput daranya, bila dokternya
pria, hingga kita berusaha memenuhi keinginannya mencari dokter wanita.
Terbukti bahwa dia masih perawan– percayalah mereka bahwa apa yang aku
ceritakan adalah benar. Sekarang tinggal bagaimana menceritakan kepada
istriku, yang jelas jangan kepada ibu mertuaku, bisa kelenger dia kalau
mendengarkan berita ini. Juga kelanjutan nasibnya Mimin dan melakukan
konfirmasi ke bapak.
Akhirnya diputuskan bahwa untuk
membicarakan ke bapak melalui kakak iparku yang wanita, sedangkan untuk
istriku lewat kakak iparku yang pria dan tertua. Untuk Mimin diputuskan
dia tetap tinggal denganku sedangkan bila selesai persalinan anaknya
diambil oleh kakak iparku yang tertua yang kebetulan belum memperoleh
keturunan hingga kini.
Malamnya suasana mulai agak berubah.
Yang jelas istriku malu banget sama aku yang telah menuduhku yang
bukan-bukan, hingga dia pun malu menegorku duluan. Walaupun posisiku
sudah menang tetapi bukan berarti semena-mena. Aku coba berkomunikasi
dengannya. Saat malam aku mau tidur aku coba membuka kamar tidur. Eh
ternyata enggak dikunci. Ah sudah lampu hijau nih.
Aku masuk
dan segera ke tempat tidur. Aku merayunya, berusaha memanaskan tubuhnya.
Aku belai, tanpa penetrasi kecuali diperintah, foreplay selama mungkin,
perlahan. Malam itu kita melakukan hubungan “timsuis” nggak seperti
biasanya, layaknya malam pengantin baru saja, maklum sudah hampir
sebulan ini aku nggak melakukannya, dan kita melakukannya hingga
beberapa kali. Memang rasanya lain bila melakukan hubungan “timsuis”
setelah berpisah karena perjalanan dinas. Apalagi bila habis bertengkar
kemudian baikan lagi, rasanya bener-bener meresap. Seperti ikan bandeng
presto, bumbunya meresap dan tulangpun jadi lunak, bisa di mam lagi.
Akhirnya suasana rumah kita ceria kembali. Hingga Mimin bersalin ibu
mertua tidak mengetahui kalau dia punya anak tiri, sementara istriku
senang sekali punya momongan, adiknya yang terkecil (??); khan benih
dari bokapnya. Tidak ada itu namanya ANAK HARAM, semua anak terlahir
dengan SUCI.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar